Langsung ke konten utama

Hooman - Cat Relationship #2

//2 Tentang Menjaga

Kucing kuning itu sekarang rutin saya berikan makan. Setiap hari, jadwalnya tidak tentu. Ketika dia datang, meminta ya saya kasih.

Dia sudah hafal dengan saya. Saking hafalnya, ia tau di mana saya menyimpan makanannya. Ketika saya mengeluarkan makanannya, suara kresek terdengar dan ia akan menjadi semakin semangat. Mengejar makanan tentunya. Pernah juga dia bahkan berusaha membuka pintu lemari saya untuk mengambil makanan.

Pernah beberapa kali di dini hari, ia datang membangunkan. Gapapa pikirku, tak kasih makan sekalian bisa subuhan. Kalau saya ada acara beberapa hari, saya titipkan adek saya, Adib untuk mengeluarkan makanan kucing di depan pintu setiap hari.

Begitu setiap hari selama beberapa bulan. Sampai tiba saatnya libur semester. Saya akan meninggalkannya, tapi mau saya titip bagaimana makanannya? Saya sempat berpikir untuk membuat feeder otomatis tiap hari karena saya pikir tidak ada yang menjual. Tapi urung, karena saya sudah terlanjur sibuk dengan tugas kuliah dan kegiatan. Apalagi di akhir semester. Tugas dan kegiatan itu semakin banyak.

Saya berpikir sedikit. Tidak banyak, karena keputusannya akhirnya saya sesali. Biarlah saya tinggalkan kucing itu pikirku. Dia sudah bisa mencari makanan sendiri. Dia sudah mandiri. Satu bulan sepertinya tidak masalah.

Ada hal yang lucu yang ada di pikiranku saat itu. Saya cukup sedih sebenarnya meninggalkan kucing yang menyapa saya setiap hari. Saya akan meninggalkannya dalam waktu yang lama. Ya Allah, itu kucing. Saya mau bawa pulang ke Padang ga mungkin. Saya mau pamit tapi ga bisa. Saya mau bilang "Cing, baik-baik di sini. Cari makan sendiri. Saya pergi dulu buat satu bulan", saya geram, sambil menertawakan diri sendiri. Masa saya bela-belain kucing daripada keluarga saya sendiri. Ya saya pilih keluarga lah. Ah, dia sudah mandiri pikirku.

Satu bulan lebih berlalu. Saya sudah kembali ke jogja. Malam saya istirahat lalu paginya seperti biasa, saya menata kamar, menata rencana untuk satu semester ke depan.

Sore itu hari saya sedih sekali. Kucing kuning datang dengan kondisi mengenaskan. Badannya kurus, bulunya kotor, matanya sayu. Aduh, pikirku. Mau bagaimana ini? Kalau mukjizat Nabi Sulaiman dititipkan ke saya barangkali saya mau tanya kucing itu. "Kamu kenapa? Selama ini ke mana aja? Kangen gak?"

Tapi tanpa butuh mukjizat itu saya sudah bisa baca raut wajahnya. Dia berdiam sebentar di depan kamar melihat saya dengan matanya sinis. Ia sedih. Ia kecewa. Ia terlihat menderita. Saya merasa bersalah.

Seperti biasa, saga ambilkan makanan. Tapi kucing itu tidak bersemangat. Aduh, entah barangkali karena sudah tidak segar pikirku, ia tidak mengambil yang saya berikan. Yasudah, lain kali saya belikan yang baru.

Besoknya, saya lupa untuk membelikan makanan yang baru. Tapi ternyata itu tidak lagi diperlukan. Sejak saat itu kucing kuning tidak lagi datang. Saya khawatir, saya sedih, saya merasa bersalah.

Suatu hari, ini yang membuat saya cukup lega. Waktu itu sore. Ia terlihat sedang mencari sesuatu lagi. Tapi kali ini tidak ke depan-depan pintu kamar kos-kosan. Kali ini di sekitaran Jalan Pogung Dalangan. Berbeda dengan saat pertama kali ia datang, kali ini dia lebih energik. Badannya sudah cukup berisi.

Di sela-sela "cat stuff" yang dilakukannya, ia menatap saya. Saya menatap balik. Bak dua orang yang sudah lama tidak bertemu, ingin menyapa tapi urung. Dia pergi. Dari situ saya percaya kalau itu adalah kucing yang saya beri makan.

Saya iseng. Ini kucing ngapain? Sedang mencari apa? Saya coba ikuti dari jauh.

Di tengah ia berlari ia berhenti, bersembunyi, seperti memburu sesuatu. Saya yang punya posisi lebih tinggi, tentunya karena saya manusia dan berdiri bisa mengamati dengan sudut pandang mata elang. Saya tertawa di dalam hati dengan apa yang diburunya.

"Wah, pantas saja sekarang dia bersemangat lagi", pikirku. Kucing itu sedang berburu, kejar-kejaran, bermain dengan betina.

"Gapapa cing kamu marah dan kecewa sama aku. yang penting kamu sehat, sana buru betinamu", pikirku geram tapi lucu.

//
Sejak saat itu saya berpikir tentang makna menjaga. Apa yang menjadi milikku, aku jaga sepenuhnya jika memang itu membuatku nyaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gimana sih caranya manajemen kerja multitasking?

Wah, kalo udah ngobrolin multitasking pasti pikirannya ribet. Otak manusia memang ga dirancang untuk mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus. Tapi sebagai seorang pegawai sering banget ga sih dapet tugas lebih dari satu? Kalo atasan kamu ngasih kamu beberapa pekerjaan sekaligus, berarti dia percaya sama kamu dan yakin kamu bisa handle pekerjaan tersebut sekaligus. Kecuali kalo udah kebablasan banget yaa. Dikasi pekerjaan prioritas semua nggak bener juga siih. Sebenernya banyak banget niih tools yang bisa dipake biar kerjaanmu yang multitasking itu bisa kelar dan rapi. Kuncinya adalah bagaimana kamu mengelola. Misalnya niih kamu di Kemitraan. Ga mungkin kan kamu cuma ngelola data satu kemitraan aja. Kamu perlu mengelola seluruh data mitra yang sebenarnya itu jenisnya sama aja. Misalnya, seluruh mitra pasti punya: Nama Mitra, nama owner, lokasi, email, dan nomor telepon. Nah, buat awal kamu bikin dulu aja tabelnya. Misalnya gini: Kenapa sih harus ribet bikin tabel beginian? Kaga ribet c...

Tetaplah Menjadi Dirimu

Jangan biarkan kebaikanmu mengubahmu. Jangan karena hatimu sanggup menerima sikap yang tidak pantas lantas menganggapnya sebagai hal yang wajar. Hatimu yang lapang, jiwa mereka yang tercemar. Biarlah hatimu tetap lapang di tengah hiruk pikuk yang sesak. Biarlah dunia hiruk pikuk sesak, tapi hatimu lapang. Dilapangkan oleh Allah. Inilah bentuk rezeki yang Allah kasih. Maka terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah kamu bersyukur.

Sebentar Lagi Allah Ganti

Pagi itu di bawah pendopo SMAN 1 Padang Panjang kami duduk melingkar bercerita tentang banyak hal. Cahaya matahari terang dan angin sejuk berhembus menembus baju pramuka berlengan panjang. Ustad Nasution, seorang dengan wajah teduh dan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Berpeci hitam berpakaian rapi. Kedua tangannya bersandar pada kursi. Kakinya bergoyang goyang ke depan dan belakang karena tidak dapat menjangkau lantai. Tenggeran kaki pun tidak ada. Kami di sekeliling beliau mengamati, memperhatikan beliau dengan antusias. Saling menimpali, saling jawab dan diskusi. Beliau bercerita tentang Iman, Islam, dan Ihsan. "Allah itu tidak pernah salah memberikan rezeki. Ia memberikan rezeki dengan jumlah yang tepat dan waktu yang tepat. Perhitungan Allah itu sangat cepat. Percayalah dengan takdir Allah", katanya. Beliau tiba-tiba mengambil sepatunya. Sepatu pantofel - yang terkadang dibuat menggunakan kulit buaya- hitam mengkilat. Sudah dipersiapkan dari pagi, disemir sup...