Pagi itu di bawah pendopo SMAN 1 Padang Panjang kami duduk melingkar bercerita tentang banyak hal. Cahaya matahari terang dan angin sejuk berhembus menembus baju pramuka berlengan panjang. Ustad Nasution, seorang dengan wajah teduh dan senyum yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Berpeci hitam berpakaian rapi.
Kedua tangannya bersandar pada kursi. Kakinya bergoyang goyang ke depan dan belakang karena tidak dapat menjangkau lantai. Tenggeran kaki pun tidak ada. Kami di sekeliling beliau mengamati, memperhatikan beliau dengan antusias. Saling menimpali, saling jawab dan diskusi.
Beliau bercerita tentang Iman, Islam, dan Ihsan. "Allah itu tidak pernah salah memberikan rezeki. Ia memberikan rezeki dengan jumlah yang tepat dan waktu yang tepat. Perhitungan Allah itu sangat cepat. Percayalah dengan takdir Allah", katanya.
Beliau tiba-tiba mengambil sepatunya. Sepatu pantofel - yang terkadang dibuat menggunakan kulit buaya- hitam mengkilat. Sudah dipersiapkan dari pagi, disemir supaya tampil maksimal bertemu kami, menghargai kami.
Beliau menarik alas sepatu. Ternyata sudah koyak. Alasnya sudah terpisah dari kainnya.
"Buayanya buka mulut", ucap beliau bercanda. Lantas kami tertawa kecil. Terkejut, tidak menyangka seorang Ustad seperti beliau adalah orang yang sangat sederhana memaksimalkan barang yang dimiliki. Beliau tidak mengeluh.
Beliau kembali memakai sepatunya kemudian bercerita,
"Dulu guru saya pernah bilang, kalau rezeki kita berkah barang-barang yang kita miliki pun akan berkah. Barang yang dibeli dengan uang berkah itu akan bisa kita pakai sampai akhir masa pakainya. Kalau dia sudah rusak, berarti pertanda dari Allah", katanya.
"Pertanda apa, Ustad?", kami tanya.
"Pertanda Allah akan berikan rezeki kepada kita. Supaya Allah ganti barang yang rusak dengan barang baru yang lebih bagus", kata beliau.
***
Pekan depan di hari yang sama, dengan cahaya matahari yang sama, dan angin sejuk yang sama. Di kursi yang sama beliau duduk kembali. Tangannya bersandar ke kursi, memegang ujung kursi, khas gaya beliau. Kakinya disilang di mata kaki, bergoyang-goyang ke depan dan belakang karena tidak bisa menjangkau lantai. Sepatu pantofel hitam mengkilat. Kali ini sudah bukan yang koyak. Sudah diganti Allah.
Beliau menunjuk saya sambil berkata, "Buka majelis!".
*Cerita didramatisasi

Komentar
Posting Komentar